Rabu, 21 Januari 2009

Saya belajar : Pemimpin Yang Bijaksana

Dari Auf bin Malik ra., ia berkata:

Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Pemimpin yang bijaksana adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian,kalian selalu mendoakan atasnya dan ia selalu mendoakan kalian.

Pemimpin yang terjahat adalah yang kalian benci dan membenci kalian, sedang kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian.”

Kami bertanya:“Wahai Rasulullah SAW, sebaiknya kita pecat saja mereka itu.”

Beliau menjawab:“Jangan, selama ia masih mengerjakan salat berjamaah dengan kalian.”
(HR. Muslim)

Jadi mudah saja, indikator seorang pemimpin itu bijaksana atau tidak adalah masalah hatinya dan hati umat. Ketika hatinya mencintai umat (bawahan) dan hati umat (bawahan) terbuka mencintainya, maka dia adalah pemimpin yang bijaksana. Begitu pula dengan mudahnya kita mengatakan seorang pemimpin itu adalah pemimpin yang terjahat, yaitu yang kita benci.

Menurut Bill Newman ada 10 hukum Kepemimpinan.

Hukum pertama = Pemimpin Harus Memiliki Visi.
Hukum Kedua = Pemimpin Harus Disiplin.
Hukum Ketiga adalah :Pemimpin Harus Bijaksana

Pengetahuan dapat diingat, sedangkan kebijaksanaan menembus batas-batas fisik. Kebijaksanaan adalah sesuatu yang memudahkan kita untuk menggunakan pengetahuan secara benar.
Kita hidup di jaman ledakan pengetahuan. Berbagai studi memperlihatkan bahwa setengah dari pengetahuan manusia telah ditemukan satu dekade yang lalu dan seterusnya. Lebih lanjut, pengetahuan kita akan berlipat ganda pada dekade terakhir.

Pemimpin yang efektif selalu mengembangkan pengetahuannya dengan membaca. Mereka mengumpulkan fakta yang diperlukan sehingga dapat mengambil keputusan dengan tepat.

Dengan berpengetahuan, seorang pemimpin tidak takut, ragu-ragu, atau khawatir dalam menyelesaikan pekerjaan, dan terbantu untuk mengatasi banyak masalah, sekaligus merupakan alat untuk berproses.

Kebijaksanaan adalah bagaimana menggunakan pengetahuan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, dan mengembangkan kemampuan untuk menyatakan pendapat.

Seorang pemimpin yang efektif memiliki penglihatan kebijaksanaan bukan dari matanya, namun dari dalam dirinya.

Kebijaksanaan menuntun diri seorang pemimpin untuk mengenali suatu masalah terlebih dahulu sebelum masalah itu terlanjur menjadi besar.

(Kutipan dari blog mbak Fuzna Mz).

H. Usep Romli H.M. (Zona Koruptor untuk Indonesia) menulis tentang betapa sulitnya sekarang menemukan pemimpin yang jujur dan adil, padahal pemimpin semacam itu, mendapat jaminan istimewa dari Allah SWT.

Sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari menyebutkan, tujuh jenis manusia akan mendapat naungan keteduhan dari Allah SWT pada saat menempuh alam Mahsyar kelak, yang panasnya tak terperikan.

Yang pertama kali mendapat kehormatan tertinggi itu, adalah al-amirul ‘adil, pemimpin yang adil. Baru enam jenis yang lainnya.

Bahkan bagi seorang Nicolo Machiaveli (abad 13) lebih mudah mempertahankan kekuasaan yang korup dan tiran daripada yang adil dan jujur. Maka dalam bukunya I’l Principe — yang menjadi “kitab suci” para pemerintah otoriter dan diktatorian sejak dulu hingga sekarang — Machiavelli terang-terangan menganjurkan, agar para penguasa tidak adil dan tidak jujur. Justru harus keras dan kejam, licik dan culas, jika ingin melanggengkan kekuasaan.

Salah seorang pemimpin yang jujur dan adil namun harus mengalami pembunuhan tragis ketika memangku jabatan, adalah Umar bin Khattab (581-644). Ia kepala negara (khalifah). Dalam menjalankan pemerintahan yang adil, jujur dan bijaksana, ia menulis “Risalatul Qada” atau “Dustur Umar”. Berisi petunjuk bagi pejabat-pejabat bawahannya dalam menerapkan keadilan dan kejujuran dalam pemerintahan. Umar membagi tipe pemimpin dalam empat jenis.
Pertama, yang berwibawa. Tegas terhadap penyeleweng, koruptor dan penjahat negara, tanpa pandang bulu. Sekalipun dirinya sendiri atau keluarganya, tetap akan ditindak menurut hukum yang berlaku. Pemimpin semacam ini dikategorikan mujahid fi sabilillahi. Negara yang dipimpinnya, rakyat yang diayominya, akan mengalami keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin, di bawah naungan ampunan Allah SWT (Baldatun thayyibatun wa Rabbun Gafur).

Kedua, pemimpin yang tegas terhadap dirinya sendiri saja. Tapi ia tak berani terhadap bawahannya. Lemah dan tidak berwibawa di mata rakyat. Ia selalu dalam intaian bahaya, jika tidak mendapat pertolongan Allah SWT.

Ketiga, pemimpin egois. Mementingkan diri sendiri. Menempatkan bawahan dalam posisi ketakutan, sehingga terpecah-belah dalam kotak-kotak “dekat” dan “jauh”, “kering” dan “basah”. Menempatkan rakyat sebagai sumber pemerasan politik dan ekonomi. Pemimpin model begini akan mudah menjadi incaran kudeta, tidak mau ada yang membela. Bahkan dikutuk dan dihujat segenap lapisan. Nabi Muhammad saw. menggambarkannya sebagai “pemimpin terjahat yang merusak segala tatanan kehidupan” (Syarrur ri’ail huthamah).

Keempat, pemimpin yang berkomplot bersama rezimnya, memperkosa keadilan, merampas hak rakyat. Berbagai undang-undang dan peraturan dikeluarkan, agar perilaku komplotan rezim tersebut seolah-olah konstitusional dan demokratis. Padahal di balik itu tersembunyi teror, penghancuran dan persekongkolan untuk memenuhi kepentingan pemimpin, rezim dan golongan pendukungnya. Pemimpin seperti ini memang akan menikmati hasil gilang-gemilang, mengeruk keuntungan, mengokohkan kekuasaan. Namun hukuman Allah SWT akan menimpa tiba-tiba (baghtatan). Sehingga kesenangan yang mereka jalani, lenyap mendadak (Q.S. Al-An’am:44).
Resep Khalifah Umar di atas, bukan sekadar omong kosong. Sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman) Umar sudah menjalankan praktik menegakkan keadilan dan kejujuran secara nyata. Selama sepuluh tahun menjadi khalifah (634-644), Umar telah mampu menegakkan keadilan dan kejujuran. Ia tak segan-segan menghukum anaknya sendiri yang melanggar aturan, menyingkirkan anak dan istrinya dari hal-hal beraroma KKN, turun tangan langsung menyantuni fakir miskin dan sebagainya.

Alhamdulillah.... saya belajar. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar